OpiniUncategorized

Rehabilitasi Kawasan Kumuh Menuju Kawasan Destinasi Wisata Budaya di Provinsi Sulawesi Tenggara

×

Rehabilitasi Kawasan Kumuh Menuju Kawasan Destinasi Wisata Budaya di Provinsi Sulawesi Tenggara

Share this article

Penulis : Dr. Ir. MARTIN EFFENDI PATULAK M.Si

Sulawesi Tenggara memiliki kekayaan destinasi wisata dan budaya yang luar biasa. Kabupaten Wakatobi, misalnya,  dikenal dengan keindahan bawah lautnya yang mendunia.  Dengan 25 gugusan karang, 750 jenis koral, dan 93 jenis ikan, Wakatobi menjadi surga bagi para penyelam dan pecinta wisata bahari.  Selain itu, Sulawesi Tenggara juga kaya akan budaya lokal, seperti budaya Bajo di Desa Mola,  dengan tradisi dan kearifan lokal yang unik. Potensi wisata dan budaya ini  merupakan aset berharga  yang  dapat  mendorong  pertumbuhan  ekonomi  dan  kesejahteraan  masyarakat.

Namun, di balik keindahan alam dan kekayaan budayanya,  Sulawesi Tenggara  masih  dihadapkan  pada  permasalahan  permukiman  kumuh.   Data  menunjukkan  bahwa  luas  kawasan  kumuh  di  provinsi  ini  mencapai  1.127,36  hektar,  dengan  165.657  unit  rumah  tidak  layak  huni.   Kondisi  ini  diperparah  dengan  minimnya  akses  terhadap  infrastruktur  dasar,  seperti  jalan,  air  bersih,  dan  sanitasi  yang  memadai.  Ironisnya,  kawasan  kumuh  juga  ditemukan  di  sekitar  destinasi  wisata  budaya,  sehingga  dapat  mempengaruhi  citra  pariwisata  dan  kenyamanan  wisatawan.

Kondisi  tersebut  menimbulkan  beberapa  isu  strategis.   Pertama,  keberadaan  kawasan  kumuh  di  sekitar  destinasi  wisata  budaya  dapat  menurunkan  daya  tarik  wisata  dan  menghambat  pertumbuhan  ekonomi.   Kedua,  kurangnya  akses  terhadap  infrastruktur  dasar  di  kawasan  kumuh  berdampak  negatif  pada  kualitas  hidup  dan  kesehatan  masyarakat.   Ketiga,  pengembangan  pariwisata  yang  tidak  terencana  dengan  baik  dapat  menimbulkan  kerusakan  lingkungan  dan  hilangnya  nilai-nilai  budaya  lokal.   Keempat,  masyarakat  di  kawasan  kumuh  seringkali  terpinggirkan  dan  tidak  mendapatkan  manfaat  yang  optimal  dari  pengembangan  pariwisata.   Oleh  karena  itu,  diperlukan  upaya  serius  untuk  mengatasi  permasalahan  kumuh  dan  mengintegrasikannya  dengan  pengembangan  destinasi  wisata  budaya.

MASALAH KEBIJAKAN

Program rehabilitasi kawasan kumuh di Sulawesi Tenggara yang bertujuan menjadikannya kawasan destinasi wisata budaya menghadapi beberapa masalah kebijakan. Pertama, keterbatasan anggaran menjadi kendala utama dalam upaya perbaikan rumah, penyediaan infrastruktur, dan pengembangan masyarakat. Kedua, koordinasi antar instansi terkait, seperti Dinas Perumahan, Dinas Pariwisata, dan Dinas Kebudayaan, masih perlu ditingkatkan agar implementasi program berjalan lancar. Ketiga, pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program masih minim, padahal partisipasi mereka krusial bagi keberhasilan dan keberlanjutan program. Keempat,  kurangnya tenaga ahli di bidang pengembangan kawasan kumuh dan pariwisata  menghambat  perencanaan dan pelaksanaan program yang efektif. Kelima, peraturan daerah yang mendukung program ini belum memadai.  Diperlukan regulasi yang jelas  mengenai  pengelolaan  kawasan  kumuh  dan  pengembangan  pariwisata  budaya. Masalah-masalah ini perlu diatasi dengan strategi yang tepat agar program  berjalan  efektif  dan  mencapai  tujuan  yang  diharapkan.

PERTANYAAN KEBIJAKAN

Berangkat dari  isu-isu  tersebut,  muncul  beberapa  pertanyaan  kebijakan  yang  perlu  dijawab  dalam  upaya  rehabilitasi  kawasan  kumuh  menuju  kawasan  destinasi  wisata  budaya.   Pertama,  bagaimana  strategi  yang  tepat  untuk  mengatasi  keterbatasan  anggaran  dalam  pelaksanaan  program  ini?   Kedua,  bagaimana  mekanisme  koordinasi  yang  efektif  antar  instansi  terkait  agar  program  dapat  berjalan  secara  sinergis  dan  terintegrasi?   Ketiga,  bagaimana  cara  meningkatkan  pelibatan  masyarakat  dalam  perencanaan,  pelaksanaan,  dan  pengawasan  program  rehabilitasi  kawasan  kumuh?   Keempat,  bagaimana  upaya  yang  dilakukan  untuk  meningkatkan  kapasitas  tenaga  ahli  di  bidang  pengembangan  kawasan  kumuh  dan  pariwisata?   Kelima,  bagaimana  merumuskan  peraturan  daerah  yang  mendukung  program  rehabilitasi  kawasan  kumuh  dan  pengembangan  pariwisata  budaya  secara  berkelanjutan?   Pertanyaan-pertanyaan  ini  perlu  dijawab  melalui  kajian  yang  mendalam  dan  diskusi  yang  inklusif  dengan  melibatkan  seluruh  stakeholder  terkait.

TELAAH KRITIS KEBIJAKAN

Pertama, program rehabilitasi kawasan kumuh menuju kawasan destinasi wisata budaya merupakan langkah inovatif dalam mengatasi permasalahan permukiman kumuh di Sulawesi Tenggara. Data  menunjukkan bahwa luas kawasan kumuh di provinsi ini mencapai 1.127,36 hektar dengan 165.657 unit rumah tidak layak huni.  Dengan mengintegrasikan pengembangan pariwisata budaya, program ini tidak hanya berfokus pada perbaikan fisik kawasan, tetapi juga pada pemberdayaan masyarakat dan peningkatan ekonomi lokal.  Contohnya, di Desa Mola, Kabupaten Wakatobi, program ini dapat  meningkatkan  taraf  hidup  masyarakat  Suku Bajo  melalui  pengembangan  ekowisata  berbasis  masyarakat.   Pendekatan ini sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang  mengutamakan  aspek  sosial,  ekonomi,  dan  lingkungan.   Namun,  keberhasilan  program  ini  sangat  bergantung  pada  komitmen  dan  dukungan  dari  seluruh  stakeholder,  termasuk  pemerintah,  masyarakat,  dan  swasta.

Kedua,  salah  satu  tantangan  utama  dalam  implementasi  program  ini  adalah  keterbatasan  anggaran.   Rehabilitasi  kawasan  kumuh  dan  pembangunan  infrastruktur  pendukung  pariwisata  membutuhkan  investasi  yang  cukup  besar.   Berdasarkan  data  dari  Bappenas,  anggaran  yang  dibutuhkan  untuk  penanganan  kumuh  di  Sulawesi  Tenggara  mencapai  Rp  1,2  triliun.   Oleh  karena  itu,  pemerintah  perlu  mengembangkan  strategi  pendanaan  yang  inovatif,  seperti  melibatkan  swasta  melalui  skema  Kerjasama  Pemerintah  dan  Badan  Usaha  (KPBU).   Sebagai  contoh,  pemerintah  dapat  menawarkan  insentif  kepada  investor  untuk  mengembangkan  akomodasi  wisata  dan  fasilitas  pendukung  lainnya  di  kawasan  yang  telah  direhabilitasi.   Selain  itu,  pemerintah  juga  perlu  memastikan  bahwa  anggaran  yang  dialokasikan  digunakan  secara  efisien  dan  efektif  dengan  menerapkan  sistem  monitoring  dan  evaluasi  yang  transparan  dan  akuntabel.

Ketiga,  koordinasi  antar  instansi  terkait  juga  menjadi  faktor  krusial  dalam  keberhasilan  program  ini.   Program  ini  melibatkan  berbagai  instansi,  seperti  Dinas  Cipta  Karya,  Bina  Konstruksi,  dan  Tata  Ruang  Provinsi  Sulawesi  Tenggara, Dinas  Pariwisata,  dan  Dinas  Kebudayaan.   Koordinasi  yang  buruk  dapat  menimbulkan  tumpang  tindih  program,  pemborosan  anggaran,  dan  lambatnya  pelaksanaan  program.   Oleh  karena  itu,  diperlukan  sebuah  platform  koordinasi  yang  efektif,  misalnya  dengan  membentuk  tim  koordinasi  khusus  yang  bertugas  memfasilitasi  komunikasi  dan  sinkronisasi  program  antar  instansi.   Pelibatan  masyarakat  dalam  perencanaan  dan  pelaksanaan  program  juga  perlu  ditingkatkan  melalui  forum-forum  musyawarah  dan  konsultasi  publik.   Masyarakat  perlu  diberikan  ruang  untuk  menyampaikan  aspirasi  dan  berpartisipasi  aktif  dalam  pengambilan  keputusan.

Keempat,  perlu  diingat  bahwa  rehabilitasi  kawasan  kumuh  tidak  hanya  berfokus  pada  aspek  fisik,  tetapi  juga  pada  aspek  sosial  dan  ekonomi.   Pengembangan  pariwisata  budaya  harus  diarahkan  untuk  meningkatkan  kesejahteraan  masyarakat  setempat,  menciptakan  lapangan  kerja,  dan  melestarikan  budaya  lokal.   Pemerintah  dapat  bekerja  sama  dengan  lembaga  pendidikan  dan  pelatihan  untuk  menyediakan  program  pelatihan  bagi  masyarakat  di  bidang  kepariwisataan,  seperti  pelatihan  pemandu  wisata,  pelatihan  pengelolaan  homestay,  dan  pelatihan  kerajinan  tangan.   Selain  itu,  pemerintah  juga  perlu  memastikan  bahwa  masyarakat  lokal  mendapatkan  manfaat  ekonomi  dari  pengembangan  pariwisata  budaya  dengan  mendorong  mereka  untuk  berperan  aktif  dalam  penyediaan  jasa  dan  produk  pariwisata.

ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Program rehabilitasi kawasan kumuh menuju kawasan destinasi wisata budaya di Sulawesi Tenggara memiliki landasan hukum yang kuat. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman  mengamanatkan  pemerintah  untuk  menyediakan  perumahan  dan  permukiman  yang  layak,  termasuk  menangani  kawasan  kumuh.   Sementara  itu,  Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan  memberikan  arahan  bagi  pengembangan  pariwisata  yang  berkelanjutan,  termasuk  pengembangan  destinasi  wisata  budaya.   Lebih  lanjut,  Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman  mengatur  secara  detail  tentang  penanganan  kawasan  kumuh  dan  pemberdayaan  masyarakat.

Meskipun  demikian,  peraturan-peraturan  tersebut  perlu  ditinjau  dan  disesuaikan  agar  lebih  mendukung  program  rehabilitasi  kawasan  kumuh  menuju  kawasan  destinasi  wisata  budaya.   Sebagai  contoh,  perlu  dikembangkan  peraturan  daerah  yang  secara  khusus  mengatur  tentang  pengelolaan  kawasan  kumuh  dan  pengembangan  pariwisata  budaya  secara  terintegrasi.   Peraturan  daerah  tersebut  harus  menjamin  pelibatan  masyarakat  dalam  perencanaan  dan  pelaksanaan  program,  serta  memastikan  bahwa  masyarakat  lokal  mendapatkan  manfaat  ekonomi  dari  pengembangan  pariwisata.

ALTERNATIF KEBIJAKAN

  1. Pengembangan Model Pembiayaan Inovatif

Keterbatasan anggaran seringkali menjadi kendala dalam program rehabilitasi kawasan kumuh. Untuk mengatasi hal ini, perlu dikembangkan model pembiayaan inovatif. Skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dapat menarik investasi swasta dalam penyediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung pariwisata di kawasan yang telah direhabilitasi.  Misalnya,  swasta  dapat  dilibatkan  dalam  pembangunan  hotel,  restoran,  atau  pusat  oleh-oleh.   Dana Bergulir  yang  dikelola  oleh  masyarakat  juga  dapat  menjadi  alternatif  pembiayaan.   Dana  ini  dapat  diperoleh  dari  berbagai  sumber,  seperti  dana  desa,  sumbangan  dari  lembaga  non-pemerintah,  atau  iuran  masyarakat.   Masyarakat  dapat  menggunakan  dana  tersebut  untuk  kegiatan  rehabilitasi  rumah,  pembangunan  infrastruktur  berskala  kecil,  atau  pengembangan  usaha  pariwisata.   Selain  itu,  pemanfaatan  platform  Crowdfunding  dapat  menjadi  cara  yang  efektif  untuk  mengumpulkan  dana  dari  masyarakat  luas  yang  tertarik  mendukung  program  ini.   Kampanye  crowdfunding  yang  menarik  dapat  menarik  perhatian  dan  dukungan  dari  berbagai  pihak,  baik  di  dalam  maupun  luar  negeri.

  1. Penguatan Kelembagaan dan Koordinasi

Koordinasi  yang  efektif  antar  instansi  terkait  sangat  penting  dalam  menjamin  kelancaran  dan  keberhasilan  program  rehabilitasi  kawasan  kumuh.   Untuk  itu,  perlu  dibentuk  Tim Koordinasi  lintas  sektor  yang  bertanggung  jawab  atas  perencanaan,  pelaksanaan,  dan  pengawasan  program.   Tim  koordinasi  ini  harus  melibatkan  perwakilan  dari  berbagai  instansi  terkait,  seperti  Dinas  Perumahan,  Dinas  Pariwisata,  Dinas  Kebudayaan,  dan  perwakilan  masyarakat.   Selain  itu,  peningkatan  kapasitas  aparatur  pemerintah  di  bidang  penanganan  kawasan  kumuh  dan  pengembangan  pariwisata  juga  perlu  dilakukan  melalui  pelatihan  dan  pendampingan.   Pelatihan  ini  dapat  mencakup  berbagai  topik,  seperti  perencanaan  partisipatif,  pengelolaan  keuangan,  dan  pemasaran  pariwisata.   Pengembangan  Sistem Informasi Terintegrasi  juga  dapat  meningkatkan  efisiensi  dan  efektivitas  koordinasi.   Sistem  informasi  ini  akan  memudahkan  pertukaran  data  dan  informasi  antar  instansi,  sehingga  memudahkan  pengambilan  keputusan  dan  monitoring  program.

  1. Optimalisasi Pelibatan Masyarakat

Keberhasilan  program  rehabilitasi  kawasan  kumuh  sangat  bergantung  pada  partisipasi  aktif  masyarakat.   Oleh  karena  itu,  penerapan  Pendekatan Partisipatif  dalam  setiap  tahapan  program  sangatlah  penting.   Masyarakat  harus  dilibatkan  dalam  proses  perencanaan,  pelaksanaan,  dan  pengawasan  program.   Pembentukan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis)  di  kawasan  destinasi  wisata  budaya  juga  perlu  difasilitasi  dan  diperkuat.   Pokdarwis  dapat  berperan  sebagai  motor  penggerak  pengembangan  pariwisata  di  tingkat  masyarakat.   Pemerintah  dapat  memberikan  pelatihan  dan  pendampingan  kepada  Pokdarwis  dalam  bidang  pengelolaan  destinasi  wisata,  pemasaran,  dan  pelayanan  kepada  wisatawan.   Selain  itu,  masyarakat  juga  perlu  dibekali  dengan  keterampilan  yang  dibutuhkan  dalam  industri  pariwisata  melalui  program  pelatihan,  seperti  pelatihan  pemandu  wisata,  pelatihan  pengelolaan  homestay,  dan  pelatihan  kerajinan  tangan.

  1. Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan

Pengembangan  pariwisata  budaya  di  kawasan  yang  telah  direhabilitasi  harus  dilakukan  dengan  memperhatikan  prinsip-prinsip  keberlanjutan.   Penerapan Prinsip Ekowisata  dapat  meminimalkan  dampak  negatif  pariwisata  terhadap  lingkungan.   Ekowisata  menekankan  pada  konservasi  alam,  pemberdayaan  masyarakat  lokal,  dan  pendidikan  lingkungan.   Pelestarian Budaya Lokal  juga  menjadi  hal  yang  sangat  penting.   Pariwisata  budaya  harus  dikembangkan  dengan  cara  yang  menghormati  dan  melestarikan  nilai-nilai  budaya  lokal.   Pemerintah  dapat  mendukung  kegiatan-kegiatan  pelestarian  budaya,  seperti  festival  budaya,  pertunjukan  seni  tradisional,  dan  pelatihan  kerajinan  tangan.   Selain  itu,  pemerintah  juga  perlu  mempromosikan  Pariwisata yang Bertanggung Jawab.   Kampanye  edukasi  dapat  dilakukan  untuk  meningkatkan  kesadaran  wisatawan  akan  pentingnya  menjaga  lingkungan  dan  menghormati  budaya  lokal.

ANALISIS ALTERNATIF KEBIJAKAN

Tabel Analisis Alternatif Kebijakan

Hubungan A1 A2 A3 A4
A1 Support Support Support
A2 Support Complement Complement
A3 Support Complement Complement
A4 Complement Complement Complement

REKOMENDASI KEBIJAKAN

Berdasarkan analisis terhadap berbagai alternatif kebijakan, rekomendasi yang paling prioritas dalam program rehabilitasi kawasan kumuh menuju kawasan destinasi wisata budaya di Sulawesi Tenggara adalah optimalisasi pelibatan masyarakat (A3). Meskipun  pengembangan  model  pembiayaan  inovatif  (A1),  penguatan  kelembagaan  dan  koordinasi  (A2),  dan  pengembangan  pariwisata  berkelanjutan  (A4)  merupakan  aspek  penting,  namun  keberhasilan  program  ini  pada  akhirnya  bergantung  pada  partisipasi  aktif  masyarakat.   Masyarakat  merupakan  subjek  utama  dalam  program  ini,  sehingga  mereka  harus  diberdayakan  dan  dilibatkan  secara  penuh  dalam  setiap  tahapan  program,  mulai  dari  perencanaan,  pelaksanaan,  hingga  pengawasan.

STRATEGI DAN RENCANA AKSI

  1. Pengembangan Model Pembiayaan Inovatif
  2. Mendorong kemitraan dengan swasta melalui skema KPBU.
  3. Membentuk dana bergulir yang dikelola oleh masyarakat.
  4. Memanfaatkan platform crowdfunding untuk mengumpulkan dana dari masyarakat luas.

Dengan melibatkan Pemerintah Daerah, Dinas Pariwisata, Dinas Cipta Karya, Bina Konstruksi, dan Tata Ruang, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Dinas Komunikasi dan Informatika, Investor Swasta (hotel, restoran, pengelola objek wisata, dll.), Lembaga Keuangan (bank, lembaga pembiayaan), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Lembaga Keuangan Mikro, Koperasi, Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Platform Crowdfunding, Komunitas Online, Influencer, Media Massa.

  1. Strategi Penguatan Kelembagaan dan Koordinasi
  2. Membentuk tim koordinasi lintas sektor yang bertanggung jawab atas perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program.
  3. Meningkatkan kapasitas aparatur pemerintah melalui pelatihan dan pendampingan di bidang penanganan kawasan kumuh dan pengembangan pariwisata.
  4. Mengembangkan sistem informasi terintegrasi yang memudahkan pertukaran data dan informasi antar instansi.

Dengan melibatkan Pemerintah Daerah, Dinas Cipta Karya, Bina Konstruksi, dan Tata Ruang, Dinas Pariwisata, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM), Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Dinas Komunikasi dan Informatik, Akademisi, Perwakilan Masyarakat, Lembaga Pelatihan,

  1. Strategi Optimalisasi Pelibatan Masyarakat
  2. Menerapkan pendekatan partisipatif dalam setiap tahapan program.
  3. Memfasilitasi pembentukan dan penguatan Pokdarwis.
  4. Memberikan pelatihan dan pendampingan kepada masyarakat dalam bidang kepariwisataan.

Dengan melibatkan Pemerintah Daerah, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Dinas Pariwisata, Balai Latihan Kerja (BLK), Lembaga Pelatihan, Akademisi, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Akademisi, Masyarakat di Kawasan Kumuh, Masyarakat di Kawasan Destinasi Wisata,.

  1. Strategi Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan
  2. Menerapkan prinsip-prinsip ekowisata dalam pengembangan destinasi wisata budaya.
  3. Melestarikan dan mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal dalam pengembangan destinasi wisata budaya.
  4. Mempromosikan pariwisata yang bertanggung jawab melalui kampanye edukasi untuk meningkatkan kesadaran wisatawan akan pentingnya menjaga lingkungan dan menghormati budaya lokal.

Dengan melibatkan Pemerintah Daerah, Dinas Pariwisata, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Komunikasi dan Informatika, Pengelola Objek Wisata, Masyarakat di Kawasan Destinasi Wisata, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang lingkungan, Tokoh Adat, Budayawan, Seniman, Pelaku Industri Pariwisata (hotel, agen perjalanan, dll.), Media Massa, Komunitas Online, Influencer.

Penulis : Dr. Ir. MARTIN EFFENDI PATULAK M.Si
Kepala Dinas Cipta Karya Bina Konstruksi Dan Tata Ruang Provinsi Sulawesi Tenggara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *